Ratu Dewa, saat menjabat Birokrat Tertinggi di Kota Palembang sebagai Sekretaris Daerah
PALEMBANG – Kenaikan karier seorang aparatur sipil negara (ASN) menjadi Pelaksana Tugas (PLT) Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Palembang, Roby Yulyadi, terus disorot.
Langkah ini secara spesifik diarahkan kepada Wali Kota Palembang, Ratu Dewa, seorang mantan birokrat senior yang pernah memimpin birokrasi tertinggi sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Palembang.
Kritik keras dialamatkan pada kebijakan yang dinilai menunjukkan “ketidakmampuan” mengelola birokrasi secara profesional, sehingga memaksakan promosi jabatan yang kontroversial.
Ungkapan bahwa “Mantan Birokrat Kota Palembang Tergerus Politik” menjadi inti kritik yang dikembangkan. Hal ini seolah menyiratkan bahwa pengalaman panjang Ratu Dewa di jalur birokrasi, kini tak mampu membendung desakan kepentingan non-profesional setelah dirinya menjadi kepala daerah.
Kritik utama datang dari berbagai pihak, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Laskar Garuda Indonesia (LGI) Sumatera Selatan. Mereka secara tegas menuding Pemerintah Kota Palembang, khususnya Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM), telah mengabaikan atau “lupa” terhadap prinsip sistem merit dalam manajemen ASN.
Sistem merit, yang diamanatkan oleh UU ASN, mensyaratkan bahwa penempatan pejabat harus didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, bukan semata-mata pada faktor kedekatan atau intervensi politik. Penunjukan Roby Yulyadi, yang kariernya melesat cepat, bahkan disebut sehari menjabat Sekretaris Dinas langsung merangkap PLT Kepala Dinas PUPR dipertanyakan integritasnya.
Ketua LGI Sumsel bahkan menegaskan bahwa kepatuhan pada regulasi formal, seperti Surat Edaran BKN tentang penunjukan PLT, saja tidak cukup jika semangat objektivitas dan profesionalisme diabaikan. Keputusan ini dinilai dapat menyebabkan demotivasi di kalangan ASN senior lain yang telah lama menanti promosi berdasarkan rekam jejak yang solid.
Selain isu sistem merit, penunjukan Sekretaris Dinas merangkap PLT Kepala Dinas PUPR juga menimbulkan kekhawatiran terkait tumpang tindih kewenangan dan potensi konflik kepentingan.
* Hilangnya Independensi Internal: Sekretaris Dinas idealnya bertugas mengawasi administrasi dan menjaga independensi internal. Ketika posisi ini juga memegang otoritas penuh sebagai PLT Kepala Dinas, independensi pengawasan internal dikhawatirkan lenyap, yang berbahaya untuk tata kelola lembaga sebesar PUPR yang mengelola proyek-proyek infrastruktur vital.
* Kekosongan Kepemimpinan Definitif: Dinas PUPR merupakan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) strategis yang membutuhkan kepemimpinan definitif untuk pengambilan keputusan jangka panjang, khususnya terkait anggaran dan pembangunan. Penggunaan PLT yang berkepanjangan dapat menghambat inovasi, program kerja, dan kepastian kebijakan. Pihak yang mengkritisi mendesak Wali Kota untuk segera melakukan seleksi terbuka (lelang jabatan) secara transparan dan objektif untuk mengisi jabatan eselon II tersebut.
Sebagai seorang mantan birokrat karir yang kini berada di puncak pimpinan daerah, Ratu Dewa dihadapkan pada tantangan untuk membuktikan komitmennya dalam menjaga netralitas dan profesionalisme birokrasi, menjauhkan proses penempatan jabatan dari unsur-unsur politik, demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan berintegritas di Kota Palembang. (Red)































