Metrosumsel.com-Kepala Desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan Desa. Melaksanakan Pembangunan Desa. Pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Empat poin di atas tertuang dalam pasal 26 ayat 1 UU No 6 Tahun 2014 tentang desa. Belum lagi bila kita perhatikan ayat 2, 3 dan empat. Dari pasal ini nampak seakan Nafas Desa itu ada di tangan Kepala Desa.
Begitu besarnya tanggung jawab begitu beratnya tugas Kepala Desa membuat Kepala Desa harus bekerja full . Satu hal yang mungkin tidak terjadi pada instansi lain adalah bila pintu Kantor ditutup maka pintu rumah harus terbuka, bila waktu kerja kantor habis maka waktu kerja di rumah harus tidak boleh habis, 24 jam Kepala Desa harus siap sedia. Berbagai persoalan harus mampu dia selesaikan harus bisa dia laksanakan sekaligus harus dia pertanggung jawabkan, 24 jam waktu kerja dan pelayanan menandakan bahwa Kepala Desa bukan saja Pemimpin Adminstrasi melainkan juga seorang Tokoh dalam masyarakat.
Bila ada pihak yang mengatakan tidak seharusnya Kepala Desa melakukan pelayanan 24 Jam maka pihak tersebut tidak memahami mengenai hal kemasyarakatan dan ketokohan dalam masyarakat terutama masyarakat Desa, dan 24 jamnya seorang Kepala Desa juga sekaligus menandakan bahwa kepala desa itu adalah pejabat Situasional merangkap Fungsional. Bila masih saja ada pihak yang mencela waktu kerja Kepala Desa seakan ofer akting, maka telaah kembali tugas Kepala Desa sesuai Ayat 1 Pasal 26 UU No 6 2014 tentang desa di atas, jelas tertera bahwa Kepala Desa bertugas melakukan Pembinaan kemasyarakatan. Pembinaan ini tidak hanya di depan meja dengan setumpuk materi, namun sesuai perkara yang terjadi dimana Perkara tersebut bisa kapan saja terjadi dan dalam hal apa saja.
Memang dalam melaksanakan tugasnya Kepala Desa dibantu perangkat desa, namun bukan hanya karena SDM tapi karena takut akan dampak Sosial dalam masyarakat membuat para Perangkat Desa tidak maksimal dalam membantu Kepala Desa. Sebab kinerja Kepala Desa dan Perangkatnya bersentuhan lansung dengan masyarakat otomatis dampak sosialnya juga akan lansung mereka terima. Sehingga semua kebijakan dan keputusan tetap tertumpu pada satu bahu, yaitu bahu seorang Kepala Desa .
Bila di lihat dari tugasnya dan di lihat dari waktu kerjanya . Lantas berapa banyak yang di dapat oleh Kepala Desa dari sisi materi untuk kesejahteraannya sendiri. Tunjangan yang ada sangat tidak bisa menjamin kesejahteraan hidup bagi Kepala Desa . Di tambah dengan begitu banyaknya pengeluaran yg Non Budgeter karena dampak Jabatan, sementara untuk mengurangi waktu kerja dan waktu pelayanan untuk sebuah aktifitas lain demi mencari penghasilan tambahan sangat tidak memungkinkan sebab Kepala Desa dituntut untuk selalu ada di Desa dan selalu siap sedia. Hanya karena panggilan hati untuk mengabdi dan berbakti serta memberikan pelayananlah yang membuat Seorang Kepala Desa tetap ikhlas hati ..
Namun keikhlasan ini makin lama makin tidak di perhatikan. Diamnya Kepala Desa karena ikhlas mungkin dianggap bahwa Kepala Desa itu sudah sejahtera dan berkecukupan . Betapa tidak.., dimulai dgn adanya kebijkan dan peraturan tentang THR PNS yg dimulai tahun lalu. Bahkan Pemkab memberikan THR kepada tenaga kontrak Lepas atau pegawai dengan perjanjian kerja (istilah dlm ASN), pemerintah juga mengatur tentang perusahaan harus memberikan THR kepada Buruh dan karyawannya . Tetapi tidak satupun peraturan yg berpihak kepada Kepala Desa dan perangkat Desa dalam hal THR ini. Meraka di tuntut bekerja 24 jam. tidak ada istilah cuti bersama . Dianggap ujung tombak pemerintah sementara di masyarakat harus selalu ada sebagai Tokoh. Miris sekali..!!
Seharusnya Anggap saja THR bagi Kepala Desa dan Perangkatnya sebagai upah lembur bagi mereka, Bukan sebagai bekal libur dan mudik ke kampung halaman seperti PNS dan pejabat negara lainnya .
Mungkin bila memang ada THR bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa tidaklah mereka nilai dari Nominalnya, namun bentuk perhatiannya yang lebih berharga. Tapi sayang pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah tidak memperhatikan Si Ujung Tombak ini.